Politisasi Islam dalam Transisi Demokrasi : Tantangan baru bagi gerakan perempuan di Indonesia
Sri Wiyanti Eddyono
Consultancy, Research and Education for Social Transformative (SCN‐CREST)
28 Juli 2010
ABSTRAKSI
Paper ini ingin menujukkan bahwa politisasi Islam selama masa transisi telah berkembang sangat cepat melalui sistem hukum di Indonesia. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa politisasi islam masuk melalui berbagai peraturan di tingkat lokal di berbagai propinsi di Indonesia. Penulis menemukan bahwa tidak saja dalam peraturan‐peraturan di tingkat daerah, namun, politisasi islam telah masuk dan berpenetrasi melalui berbagai hukum nasional dalam bidang ekonomi (Bank Sharia dan pengaturan tentang waris), sosial (wakaf dan zakat) dan politik (hukum kriminal melalui UU Pornografi). Tiga putusan Mahkamah Konstitusi dan dua Putusan Mahkamah Agung telah pula menunjukkan bahwa politisasi islam sangat dekat dan bahkan sudah masuk pada sistem peradilan di Indonesia.
This document is an output of the Research Programme Consortium on Women’s Empowerment in Muslim Contexts' project funded by UK aid from the UK Department for International Development (DFID) for the benefit of developing countries. The views expressed are not necessarily those of DFID.
...
Penutup
Politisasi Islam sudah tidak dapat diabaikan lagi. Sebelumnya berbagai fokus perhatian masyarakat sipil dan insitutusi HAM ada pada penerbitan peraturanperaturan di tingkat daerah yang menggunakan nilai-nilai agama. Tak banyak yang menyadari bahwa politisasi islam telah masuk dalam bidang hukum ekonomi dan sosial, dan baru menjadi perhatian publik ketika menyentuh wilayah hukum kriminal. Sementara di tingkat peradilan yang memiliki wewenang untuk judicial review pun tidak lepas dari kepentingan ini. Mahkamah Konsitusi bahkan sangat jelas meletakkan posisi lembaga tersebut dalam diskursus agama dan Negara. Mahkamah Konstitusi telah menyebutkan bahwa nilai-nilai agama adalah sahih menjadi dasar dari pembentukan hukum nasional. Mahkamah Konsitusi memang menggunakan tameng Konstitusi, namun berbagai pendapat yang dipakai adalah pendapat yang mendikotomikan antara Barat dan non barat, dan meletakkan Indonesia sebagai non barat, sebuah argumentasi klasik yang selalu dipakai oleh mereka yang kontra terhadap HAM, dengan alasan partikularitas. Sementara Mahkamah Agung meski tidak secara jelas menyampaikan argumentasinya, tetap mengikuti arus besar, menguatkan Perda-perda yang disandarkan pada nilai-nilai agama dan moralitas.