RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) adalah salah satu RUU yang saat ini sedang dibahas oleh anggota DPR RI. Berdasarkan catatan dari CEDAW Working Group Indonesia (CWGI) ada 3 alasan
mengapa Indonesia membutuhkan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). Ketiga alasan berdasarkan analisa dari CWGI dibagi menjadi alasan Filosofis, alasan Yuridis dan alasan Sosiologis.
Alasan Filosofis
Dalam cita-cita Pancasila, manusia, perempuan, dan laki-laki, diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa, dan bangsa Indonesia mengarahkaan diri pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, musyawarah dan mufakat, serta keberadaban. Oleh karena itu, sebagai negara hukum, Indonesia telah menjamin hak asasi manusia (HAM) dalam UUD 1945 sebagai konstitusi Negara. HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia, perempuan dan laki-laki, sebagai makhluk bermartabat, yang telah dimiliki sejak lahir hingga akhir hayat. Karenanya HAM wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, dan setiap orang.
Pembukaan UUD 1945 mengakui bahwa setiap individu atau warga negara adalah manusia merdeka dan tidak boleh mendapatkan diskriminasi berdasarkan apapun termasuk berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Dengan disahkannya perubahan kedua pada tahun 2000, UUD 1945 memuat ketentuan dasar mengenai HAM dalam Bab XA, Pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J ayat (2). Selain rumusan tersebut, UUD 1945 kententuan HAM termuat pula dalam Pasal 29 ayat (2) dan pasal 28 I (2). Perempuan dan laki-laki berhak atas kehidupan dan kemeerdekaan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Konsepsi HAM ini sejalan dengan hukum HAM Internasional, yang secara khusus mengadopsi instrument hak asasi perempuan yang komprehensif, yaitu Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women, selanjutnya disebut Konvensi CEDAW, yang diratifikasi oleh Negara Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi ini mendasarkan pada tiga prinsip atau asas yaitu: (a) Persamaan substantive; (b) Non Diskriminasi; dan (c) Kewajiban Negara. Prinsip persamaan substantive mengakui adanya perbedaan situasi hidup perempuan dan laki-laki, dimana perempuan dapat atau lebih rentan mengalami diskriminasi yang sering dijustifikasi melalui perbedaan ketubuhannya dibanding laki-laki, dengan menggunakan tolak ukur kepentingan laki-laki. Diskriminasi dapat dialami langsung atau merupakan kelanjutan dari berbagai tindakan diskriminatif di waktu lalu. Untuk menanggulanginya, persamaan substantive menggunakan pendekatan korektif melalui tindakan khusus sementara (temporary special measures) dan perlindungan maternitas.
Alasan Yuridis
Instrumen hukum Indonesia yang melandasi perwujudan persamaan dan keadilan untuk perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain:
Hingga saat ini belum ada sebuah undang-undang yang mengatur secara komprehensif tentang perlindungan hak-hak perempuan dari bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dan pelanggaran hak asasi; dan pelaksanaan penikmatan hak asasi perempuan termasuk akses, kesempatan, proses, control dan penikmatan manfaat, guna mewujudkan kehidupan masyarakat yang demokratis, mengakui, menghargai, memajukan, melindungi dan memenuhi hak asasi perempuan tanpa diskriminasi.
Alasan Sosiologis
Dalam kenyataan kehidupan masyarakat Indonesia, berbagai studi menunjukkan, persamaan dan keadilan dalam memperoleh manfaat yang sama dan adil dari hasil-hasil pembangunan antara laki-laki dan perempuan (termasuk anak perempuan) belum tercapai, terutama disebabkan masih sangat kuatnya budaya patriarki dan perspektif laki-laki dalam mempengaruhi pola pikir, pola perilaku, dan pengambilan keputusan termasuk pengambilan kebijakan.
Perwujudan keadilan dan kesetaraan gender sebagai asas dalam pemenuhan hak asasi perempuan, hanya dapat tercapai bila pengetahuan mengenai konstruksi sosial gender, pengalaman ketubuhan perempuan, sudut pandang, kebutuhan, dan kepentingan perempuan terintergrasi dalam keseluruhan tatanan pengetahuan. Situasi sosial budaya terkait relasi gender menunjukan bahwa perdebaan jenis kelamin (biologis) diinterpretasi secara sosial melalui mitos, sosialisasi, budaya, kebidajakan pemerintah, dan hukum serta praktik yang lebih menguntungkan laki-laki, sekaligus tidak adil bagi perempuan, yang antara lain dapat dilihat dari: stereotip atau pelabelan negative, subordinasi, peminggiran atau marjinalisasi, beban majelmuk, dan kekerasan berbasis gender.
Keadilan gender merefleksikan budaya patriarki yang menempatkan kedudukan tyertinggi pada laki=-lakim, yang masih kuat di masyarakat, dan dilanggengkan melalui nilai-nilai, praktik budaya, system sosial, dan bentuk lainnya seperti penafsiran agama yang bias gender, terinternalisasi dalam pikiran dan praktik hidup anggota masyarakat. Disinilah negara sebagai actor utama yang memegang kewajiban dan tanggung jawab (duty holders) pemenuhan hak asasi perempuan, penting untuk merumuskan hukum dan kebijakan yang memastikan pelaksanaan pemenuhan hak asasi perempuan.
Catatan: Diambil dari Factsheet Pokok-Pokok Pikiran Usulan Rancangan Undang-Undang Tentang Persamaan dan Keadilan Untuk Perempuan yang diterbitkan oleh CEDAW working Group Indonesia (CWGI)
http://www.kalyanamitra.or.id/
Jl. Kalibata Utara I No.38A
Kalibata - Pancoran
Jakarta Selatan 12740
T : 085311987423
E : office@scn-crest.org
W: www.scn-crest.org