LIPI bekerjasama dengan Universitas Brawijaya (UB) dan CRCS UGM pada tanggat 9-10 November 2016 mengadakan sebuah workshop dan seminar International yang bertajuk “Membangun Dari Pinggir: Menelaah Masyarakat Pinggiran Sebagai Bagian Dari Bangsa Indonesia”. Kegiatan ini diselenggarakan di Gedung Widyaloka, Universitas Brawijaya Malang, diikuti oleh beragam lapisan masyarakat, mulai dari akademisi, aktivis, mahasiswa, perwakilan dari pemerintah, forum lembaga adat, forum kerukunan antar umat beragama, dan anggota masyarakat lainnya. Acara secara resmi dibuka oleh Wakil Rektor I UB Prof. Dr. Ir. Kusmartono.
Pembicara berasal dari Indonesia dan Australia, yakni: Dr. Gregory Acciaioli (University of Western Australia), Dr. Birgit Brauchler (Monash University), Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, MA (Deputi IPSK LIPI), Prof. Dr. A. Erani Yustika (Dirjen Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi), Dr. Hilmar Farid (Dirjen Kebudayaan), Prof. Tamrin Amal Tomagola (Sosiolog UI), dan Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya (Dekan FIB Univeristas Brawijaya), serta ditambah dengan 20 pembicara panel dan 15 orang tim perumus lintas disiplin dari berbagai instansi dan institusi.
Pada hari pertama, Dr. Gregory Acciaioli mengawali seminar dengan memaparkan hasil penelitiannya tentang perbandingan masyarakat pinggiran yang tinggal di laut dalam wilayah ASEAN. Masyarakat pinggiran yang tinggal di laut dikenal dengans ebutan Bajau Laut, Moken, Bajo, Orang Laut. Prof. Acciaioli menuliskan bagaimana masing – masing kelompok ini mengalami peminggiran (marginalisasi) karena tidak memiliki kekuatan hukum sebagai warga negara. Mereka yang “bertanah air” di laut ini kemudian tidak tercatat secara hukum sebagai warga negara sehingga jarang menerima bantuan pembangunan apapun. Prof. Accioli mengatakan bahwa, sesorang tanpa kewarganegaraan dan tidak berdokumen adalah mereka yang paling terpinggirkan dari kelompok minoritas di Asia Tenggara dan di seluruh dunia.
Setelah pembicara Dr. Gregory Acciaioli menyampaikan hasil penelitiannya, acara dilanjutkan dengan diskusi dan pembahasan dari tiga panel yaitu Panel 1 - Komunitas Adat (Adat Communities), Panel 2 - Minoritas Agama (Religious Minority) serta Panel 3 - Masyarakat Pinggiran Lainnya (Other Marginal Groups). Panel ini dilakukan secara bersamaan sehingga para peserta diminta untuk memilih diskusi yang diminati. Pada Panel 1 terdapat diskusi mengenai Suku Baduy di Banten, Masyarakat Amatoa di Sulewesi Selatan, Dayak Basap di Kabupaten Kutai Timur, dan komunitas Adat Marapu di Sumba. Dari panel ini bisa kita lihat bagaimana keempat masyarakat adat berjuang untuk hak sipilnya. Bagi masyarakat Baduy dan Amatoa, yang sama-sama percaya bahwa mereka adalah manusia pertama yang dilahirkan di bumi, mereka berproses melalui adaptasi terhadap lingkungan sekitarnya karena ada hubungan saling tergantung antara makhluk (manusia dan makhluk non-manusia), serta ditularkannya budaya melalui generasi. Sementara itu kepercayaan komunitas adat Marapu secara bertahap berhasil memperjuangkan hak sipilnya melalui interaksi dengan lingkungan eksternal dan memperluas jejaring dengan komponen bangsa dari pemerintah, masyarakat sipil, dan korporasi. Marapu yang berhasil mengorganisir warganya mampu melawan formalisasi agama dan kuasa Negara. Sedangkan Dayak Basap yang awalnya tumbuh lestari bersama alam mulai terkungkung karena hadiranya pertambangan PT. KPC mempersempit ruang hidup kewilayahan Dayak Basap. Ditambah lagi di tengah keterpurukan ekonomi, pelepasan dan ganti rugi tanah wilayah mereka, ada agen-agen opportunisyang memainkan ganti rugi tanah ini sehingga kemudian mengganggu pola relasi antar individu Dayak Basap.
Pada hari kedua Dirjen Kebudayaan, Dr. Hilmar Farid engajak kita membuka ruang-ruang politik baru yang lebih inklusif sehingga ruang-ruang ini mampu menjadi ajang perjumpaan bagi beragam agama, budaya, dan kelompok sosial lainnya sehingga mampu memupuk energi positif. Ruang ini bisa dalam bentuk aneka rupa sehingga mampu memperkuat keberagaman yang ada di Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh Svetlana Dayani, penyintas 65 yang menjadi salah satu pembicara panel. Melalui kegiatan kumpul bersama, tidak resmi, namun saling menguatkan ini adalah hal yang sangat dibutuhkan bagi para penyintas. Kelompok paduan suara Dialita salah satunya yang telah membuktikan hal ini. Sedangakan Dr. Dede Oetomo mengungkapkan tentang praktek eklusifitas yang dilakukan oleh negara diantaranya disebabkan karena negara yang dikuatkan oleh agama dan budaya diskriminasi terhadap kelompok LGBT. Hal tersebut berakar dari konsep hanya mengakui dan menerima hubungan laki-laki dan perempuan. Mereka juga meyakini bahwa jenis kelamin manusia hanya terbagi menjadi dua, laki-laki dan perempuan, yang lain tidak benar atau menyimpang. Akibatnya kelompok LGBT terpinggirkan dalam berbagai hal, mulai dari hal-hal yang pribadi hingga yang publik, dari yang mikro sampai yang makro.
Dari dua hari seminar ini diinformasikan bahwa saat ini terdapat 3 (tiga) RUU yang diharapkan dapat mendukung upaya inklusifitas dilakukan secara terbuka dan masif. Ketiga RUU tersebut adalah RUU Perlindungan Umat Beragama, RUU Kebudayaaan dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat. Dua RUU yang pertama saat ini sedang digodok oleh dua kementerian yang terpisah, dan tengah menghadapi problem serius pendefinsian subjek utamanya.
Catatan saya terhadap seluruh proses workshop dan seminar, masih belum beragamnya masyarakat pinggiran yang hadir dalam kegiatan ini sehingga tidak banyak informasi dari lapangan yang bisa didengarkan secara langsung, kecuali dalam bentuk makalah. Materi yang disampaikan juga menggunakan banyak bahasa ilmiah dan sangat akademis. Satu hal yang perlu diapresiasi panitia menyediakan penterjemah untuk tuna rungu di salah satu panel, namun lokasi tempat acara masih belum ramah bagi mereka yang menggunakan tongkat atau kursi roda. (Leonie Dian Anggrasari)
Jl. Kalibata Utara I No.38A
Kalibata - Pancoran
Jakarta Selatan 12740
T : 085311987423
E : office@scn-crest.org
W: www.scn-crest.org